Powered By Blogger

Perlu Tidaknya UU dalam Kegiatan Kepariwisataan

          Setiap kegiatan hendaklah harus dilandasi oleh sebuah aturan sebagai sistem kontrol atas penyelenggaraan kegiatan tersebut. Seperti halnya kegiatan kepariwisataan tentunya memerlukan suatu dasar aturan  atau landasan hokum yaitu UU. Tanpa adanya UU, maka tidak ada yang mengontrol kegiatan kepariwisataan di Indonesia. Tanpa sistem kontrol maka akan terjadi kesemrawutan dan kesewenang-wenangan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
          Walaupun pada kenyataannya, UU yang diterapkan pemerintah kurang efektif. Ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan isi UU tersebut. UU Kepariwisataan No. 10 tahun 2009, berdasarkan dari sumber : http://erdha.wordpress.com/2010/06/08/uu-102009-dan-implikasinya-bagi-pengelolaan-kepariwisataan-daerah/ mengatakan bahwa UU Kepariwisataan sebelumnya lebih memfokuskan pada pengusahaan pariwisata semata. HAK menjelaskan bahwa pengusahaan pariwisata hanyalah menjawab pertanyaan tentang bagaimana jika ingin berusaha dalam bidang pariwisata. Maka kemudian tidak heran jika pada UU sebelumnya hal hal seperti Sapta Pesona lebih banyak muncul. Masyarakat menjadi bagian yang dikenai kewajiban, namun tidak pernah dianggab memiliki hak sebagai wisatawan.
Sedangkan menurutnya bahwa kepentingan wisatawan juga harus menjadi bagian penting dalam Undang Undang Kepariwisataan. Dalam UU Kepariwisataan yang baru, focus pada isu Kepariwisataan lebih kentara. Hal ini dapat dilihat dalam azas, tujuan dan fungsi. Kepariwisataan dalam hal ini dimaksudkan sebagai sebentuk kegiatan pariwisata yang memiliki sebuah misi didalamnya yaitu untuk sepenuhnya kesejahteraan rakyat baik rakyat sebagai penyedia attraksi maupun rakyat sebagai wisatawan. UU baru mengakonomidasi lebih banyak.
Beberapa hal yang baru dalam UU Kepariwisataan No 10/2009 adalah sebagai berikut:
  1. Pembangunan, Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan, Hierarki cakupan (Industri, destinasi, pemasaran, dan kelembagaan) dan pendekatan.
  2. Terdapatnya pengembangan sistem informasi kepariwisataan (opsional)
  3. Badan promosi pariwisata daerah (opsional): relevansinya dengan lembaga sejenis dan pemerintah (Tugas pokok dan fungsi) ruang lingkup urusan kepariwisataan vs pariwisata.
  4. Gabungan industri pariwisata Indonesia. Pemda menyelenggarakan pelatihan SDM standar kompetensi naker kepariwisataan sertifikasi naker dna usaha, status kelembagaan mandiri.
  5. Pengembangana sistem informasi kepariwisataan (opsional)
  6. Badan promosi pariwisata daerah (opsional): relevansinya dengan lembaga sejenis dan pemerintah (Tugas pokok dan fungsi) ruang lingkup urusan kepariwisataan vs pariwisata. Gabungan industri pariwisata Indonesia. Pemda menyelenggarakan pelatihan SDM standar kompetensi naker kepariwisataan sertifikasi naker dna usaha, status kelembagaan mandiri.
Dalam paparanya Hendrie Adjie Kusworo menyampaikan bahwa pariwisata adalah sebuah bidang yang sangat dinamis dimana memerlukan SDM yang kompeten dalam bidang pariwisata. Pada kenyataanya SDM di Dinas Pariwisata maupun yang mengurusi pariwisata tidak sesuai bidangnya. Pariwisata dianggab sebagai sektor minor dan buangan untuk staff.
Tentang RIPPDA HAM menekankan perlunya dukungan masyarakat dalam penyusunan dan implementasi RIPPDA. Yang diperlukan dalam sebuah pengembangan pariwisata adalah partisipasi bukan hanya dokumen hasil studi dari para pakar. HAK menguraikan tentang perlunya managemen destinasi yang lebih komprehensive dan menggunakan konsep borderless yaitu menghilangkan batas batas administrasi. Seharusnya konsep cluster lebih dikedepankan dalam pengembangan pariwisata. Cluster ditentukan berdasarkan kesamaan karakteristik strategis ditiap wilayah dimana lebih banyak tidak sama bentangan lahannya sebagaimana batas administrasi di tetapkan.
Pendekatan destinasi juga menjadi hal baru dalam UU 10/2009 yaitu pendekatan kawasan strategis nasional, daerah, cross border, integrasi horizontal, vertical dan diagonal. Usaha pariwisata: peraturan menteri dan komplikasi perijinan, pengelolaan hak, kewajiban dan larangan. Tidak secara eksplisit disebutkan promosi, tapi langsung devisa.
          Jadi, jika ditanyakan perlu tidaknya suatu UU dalam pelaksanaan kegiatan kepariwisataan, tentu saja perlu. Sebuah UU merupakan landasan hokum juga sebagai sistem pengontrol bagi orang-orang yang menjalankan kegiatan tersebut. Walaupun, UU yang masih belum sempurna dan dirasa kurang adil bagi beberapa pihak, tentunya bisa dilakukan perbaikan dengan cara bermusyawarah untuk kepentingan dan kebaikan bersama masyarakat Indonesia.

Sumber : http://erdha.wordpress.com/2010/06/08/uu-102009-dan-implikasinya-bagi-pengelolaan-kepariwisataan-daerah/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar